Friday 6 August 2010

penambangan bauksit di P.Bintan Kep Riau


Pulau Bintan
Pulau Bintan dibentuk oleh batuan dasar vulkanik liparit (porfir kuarsa) yang diduga berumur Permo-Karbon, dengan komposisi yang sama dengan liparit daerah Jambi (Bothe, 1925 dalam Kusnama dan Sutisna, 1994). Formasi batuan dapat ini disebandingkan pula dengan Formasi Pahang Volcanic Series dari Semenanjung Malaya. Batuan dasar tersebut diterobos oleh batuan beku berumur Yura yang terdiri atas granit dan diorit yang membentuk daerah perbukitan. Batuan beku lain berupa andesit berumur Miosen yang ditemukan menerobos granit, sementara formasi batuan dengan sebaran cukup luas berupa batupasir tufan yang diduga berumur Miosen-Pliosen. Morfologi daerah penambangan umumnya memiliki kemiringan lereng antara 50 - 150 dengan sungai-sungai mempunyai stadium tua, aliran sungai laminer dan tidak ditemukan jeram. Struktur geologi di daerah ini berupa lipatan dan sesar. Secara tektonik daerah tinjauan termasuk ke dalam Lajur Karimata yang terletak di sebelah timur Lajur Timah (Katili, 1977 dalam Kusnama dan Sutisna, 1994).
Daerah tersebut berada pada lingkungan beriklim tropis, curah hujan 1800 mm/tahun sampai dengan 3800 mm/tahun, musim hujan biasanya berlangsung selama periode bulan Juli-Desember. Suhu udara rata-rata 24º C - 34º C dengan kelembaban nisbi 55% - 96%.

Bauksit dan Penambangan Bauksit Bintan
Endapan bauksit di daerah Bintan ditemukan pada tahun 1924 dan pihak pertama yang memanfaatkannya adalah perusahaan Belanda, NV Nederlansch Indische Bauxiet Exploitatie Maatschapij (NV NIBEM), dari tahun 1935 sampai 1942. Pada tahun 1942 sampai 1945, usaha ini diambil alih Jepang melalui perusahaan Furukawa Co Ltd, dan tahun 1959 usaha ini kembali ditangani NV NIBEM. Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit di daerah ini diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan Bauksit Indonesia (PERBAKI), dan kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di lingkungan BPU PERTAMBUN. Tahun 1968 bersama-sama dengan BPU PERTAMBUN, PN, PT, dan proyek-proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur ke dalam PN. Aneka Tambang (Persero) yang kemudian menjadi PT. Aneka Tambang (Lahar dkk, 2003).
Sebaran bahan galian bauksit (lempung alumina) tersebar secara luas di wilayah Pulau Bintan dan sekitarnya. Bauksit merupakan hasil proses pelapukan dari batuan granit yang merupakan batuan dasar dari P. Bintan, umumnya tersebar pada morfologi dataran sampai dengan landai yang memungkinkan proses pelapukan dapat berlangsung intensif. Berdasarkan data PT. Aneka Tambang membagi kualitas cadangan bauksit menjadi 3 (tiga) kategori A, B dan C (Tabel 1).
Potensi sebaran bauksit cukup besar terdapat di wilayah Kecamatan Bintan Timur, pada wilayah daratan utama dan pulau-pulau di sekitarnya, merupakan wilayah tambang dan sebagian bekas tambang bauksit (Gambar 4). Wilayah yang mempunyai sebaran bauksit cukup luas terdapat di Desa Gunung Lengkuas, Busung, Toapaya dan Ekang Anculai, serta di pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Timur. Potensi bauksit di seluruh wilayah tersebut pada sebaran luas sekitar 10.450 ha dengan jumlah sumber daya tereka sebesar 209 juta m³.
Terdapat beberapa wilayah bekas tambang di P. Bintan di antaranya P. Koyang, daerah Wacopek, daerah Tanjung Pinang dan sekitarnya. Daerah tersebut merupakan wilayah bekas tambang bauksit PT. Aneka Tambang, dimana terdapat bijih bauksit tertinggal (Gambar 5) dengan ketebalan sampai batuan dasar sekitar 40 hingga 50 cm (rata-rata 45 cm), sedangkan bahan galian bijih bauksit sebelum ditambang mempunyai ketebalan 1 – 5 meter. Bekas tambang di daerah Tanjung Pinang dan sekitarnya, telah menjadi wilayah perkantoran, perumahan padat penduduk dan pertokoan. Sementara itu proses pengolahan (pencucian) bijih bauksit menghasilkan tailing berupa pasir dengan kandungan kuarsa yang tinggi.
Wilayah bekas tambang bauksit banyak dijumpai di P. Koyang, daerah Wacopek, dan daerah Tanjung Pinang. Wilayah tersebut merupakan bekas tambang bauksit PT. Aneka Tambang. Keterdapatan bauksit yang tertinggal pada wilayah bekas tambang umumnya memiliki ketebalan dari permukaan sampai batuan dasar sekitar 40 hingga 50 cm (rata-rata 45 cm). Bauksit yang tertinggal tersebut diperuntukkan sebagai media tanam dalam melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan (reklamasi) dan untuk menghindari tercampurnya/pengotoran batuan dasar (batulempung), pada saat pengambilan bijih bauksit. Bahan galian bijih bauksit sebelum ditambang mempunyai ketebalan sekitar 1 – 5 meter.
Penambangan bauksit dilakukan menggunakan sistem tambang terbuka, dengan metode berjenjang yang terbagi dalam beberapa blok. Kemajuan penambangan setiap blok disesuaikan dengan rencana penambangan pada peta tambang. Dalam pembagian blok, penambangan direncanakan pada peta eksplorasi dengan sekala 1 : 1000. Hal ini untuk memperhitungkan jumlah tonase bauksit yang akan diperoleh. Sebelum penambangan bauksit, terlebih dahulu dilakukan pembersihan lokal (land clearing) dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di atas endapan bijih bauksit. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam operasi selanjutnya yaitu kegiatan pengupasan lapisan penutup yang umumnya memiliki ketebalan 0,2 meter. Untuk melaksanakan kegiatan pengupasan lapisan penutup digunakan bulldozer, sedangkan untuk penggalian endapan bauksit digunakan alat gali muat excavator yang selanjutnya dituangkan/dimuatkan ke alat angkut dump truck. Untuk mengoptimalkan perolehan, bauksit kadar rendah dicampur (mixing) dengan bijih bauksit kadar tinggi, hal ini dapat berfungsi juga untuk memperpanjang umur tambang. Untuk menghindari pengotoran dari batuan dasar yang ikut tergali pada saat penambangan bauksit, maka penggalian dilakukan dengan menyisakan bauksit setebal 40 – 50 cm di atas batuan dasarnya. Selain menghindari tercampurnya bauksit dengan batuan dasar, sisa tanah mengandung bauksit juga berfungsi untuk penanaman pohon reklamasi.

Pengolahan Bauksit
Pencucian bijih bauksit dilakukan dua kali proses, pertama dilakukan di areal tambang dan yang kedua dilakukan di Kijang sebelum bahan galian disimpan di stockfile. Proses ini dilakukan untuk mengurangi kadar silika, oksida besi, oksida titan dan mineral-mineral pengotor lainnya sehingga akan mempertinggi kualitas bijih bauksit.
Proses pencucian yang dilakukan pada instalasi pencucian bertujuan untuk meliberasi bijih bauksit terhadap unsur-unsur pengotornya yang pada umumnya berukuran -2 mm yaitu berupa tanah liat (clay) dan pasir kuars. Sehingga hasil dari proses pencucian tersebut akan mempertinggi kualitas bijih bauksit, yaitu didapatkan kadar alumina yang lebih tinggi dengan berkurangnya kadar silika, oksida besi, oksida titan dan mineral-mineral pengotor lainnya. Peningkatan nilai kadar Al2O3 hasil pencucian sebagai contoh dari analisis sampai sebelum dicuci diperoleh harga sekitar 35,34 %, pada sampel setelah dicuci didapatkan kadar 47,28 %.
Instalasi pencucian di Pari dan Pulau Kelong digunakan untuk mencuci bijih bauksit yang berasal dari front penambangan Lomesa dan Dompak yang diangkut menggunakan tongkang. Peralatan pencucian yang terdapat di pulau Kelong berupa ayakan putar (tromol rail atau rotary grizzly) dan ayakan getar (vibrating screen). Sedangkan di instalasi pencucian di Pari menggunakan alat tromol screen. Ayakan putar mempunyai fungsi untuk mencuci bijih bauksit yang masuk melalui hopper (stationary grizzly), sedangkan ayakan getar berfungsi untuk mencuci bijih bauksit yang keluar dari ayakan putar. Ayakan getar mempunyai dua tingkat, ayakan tingkat pertama (bagian atas) mempunyai lebar lubang bukaan 12,5 mm dan ayakan tingkat kedua (bagian bawah) mempunyai lebar bukaan 2 mm, alat ini disebut juga sistem ayakan getar bertingkat (vibration horizontal double deck screen).
Secara keseluruhan proses pencucian bauksit terdiri dari tiga tahap yaitu :
1.    Penghancuran untuk memperkecil ukuran bijih bauksit yang berasal dari front penambangan.
2.    Pembebasan (liberasi) yaitu proses pembebasan bijih bauksit dari unsur-unsur pengotor.
3.    Pemisahan (sorting) bijih bauksit yang berdasarkan pada perbedaan ukuran dan pemisahan terhadap fraksi yang tidak diinginkan yaitu yang berukuran -2 mm.
Luas wilayah bekas tambang yang terdapat di daerah Wacopek sekitar 50 ha, diperkirakan ketebalan endapan bauksit sekitar 40 cm - 50 cm, maka jumlah sumberdaya bauksit tereka yang tertinggal 5.625.000 ton. Apabila kadar rata-rata @.41.44 % Al2O3, maka jumlah sumber daya 2.331.000 ton Al2O3. Estimasi cadangan bijih bauksit di Wacopek meningkat hingga 350% yaitu menjadi 13,5 juta wmt hal ini disebabkan adanya perubahan faktor cut off grade yang relatif rendah serta aktivitas eksplorasi yang lebih rinci di wilayah tersebut.
Luas bekas tambang di Pulau Koyang 182,94 ha, jumlah sumber daya bauksit tereka yang tertinggal 20.580.750 ton @ 45.97 % Al2O3, atau 9.460.970,775 ton Al2O3. Sementara estimasi cadangan bauksit tercuci di wilayah lainnya (Tayan dan Munggu Pasir) meningkat hingga 129% yaitu menjadi 70,4 juta wmt seiring dengan penyelesaian rancangan tambang (mine design), penurunan cut off grade serta kegiatan eksplorasi yang lebih rinci (Antam, 2006). Sementara proses pengolahan (pencucian) bijih bauksit (Gambar 6) menghasilkan tailing berupa pasir dengan kandungan kuarsa yang tinggi. Bahan galian pasir yang berasal dari tailing telah dimanfaatkan juga sebagai bahan baku pembuat batako dan paving block. Bahan dasar pasir dari tailing setelah dibersihkan dari pengotor (lempung) kemudian dicampur semen dengan perbandingan 8 : 1, hal tersebut telah diusahakan oleh sebagian mantan karyawan PT. Aneka Tambang.

Permasalahan Bauksit di Pulau Kijang, Bintan
Sumber : Zamri, dkk (2003). Konservasi Bahan Galian Emas, Bauksit, Batubara dan Permasalahan.
·      Sisa cadangan bauksit kadar tinggi (48-52% Al2O3, <6% SiO2, 0,5–1 % TiO2, dan 5-6% Fe2O3) berjumlah 657.745 ton. Kebutuhan untuk eksport 1.200.000 ton (China, Jepang dan Australia). Sedangkan bauksit kadar rendah dengan cadangan 7.000.000 ton belum ditambang oleh Yayasan Pemerintah Daerah.
·      Metoda perhitungan cadangan sistim influence area kurang efektif dan menghasilkan cadangan yang tidak optimal, sebab hasil penambangan menunjukkan jumlah cadangan yang berbeda.
·      Sistim penambangan terbuka merusak sistim drainage aliran sungai, memberikan dampak negatif dimana air tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat di sekitar aktivitas penambangan.
·      Tanah pucuk (top soil) dari profil bauksit relatif tipis (30-40 cm), sebagai tanah penutup untuk reklamasi dan revegetasi kondisinya tidak subur (sangat asam).
·      Dalam penambangan bauksit, mineral ikutan kelompok titan (0,96%–2,60% TiO2) dijumpai pada conto conto tailing, dan mineral ini masih belum dimanfaatkan.
·      Pengolahan/pencucian bauksit dengan menggunakan air laut berdampak bagi lingkungan nelayan dengan  terpengaruhnya biota plankton, bentos dan sejenisnya serta kekeruhan air laut.
·      Penambangan pasir darat oleh 35 perusahaan diluar wilayah pertambangan bauksit di Pulau Kijang, meningggalkan kolam-kolam yang tidak direklamasi dan tidak dilakukan penghijauan sehingga menjadi tandus dan gersang.
·      Tempat pembuangan tailing dan pencucian bauksit yang telah berumur 60 tahun berupa lahan pasir, dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pemukiman dan perkantoran, memerlukan perhatian khusus tentang kestabilan dan kekuatan tanahnya.

No comments:

Post a Comment